Senin, 18 Februari 2013

menuju hatimu

Aku suka foto ini. Kujepret sendiri ketika berkesempatan jalan-jalan ke sunga sembilan naga di Vietnam. Aku ada di belakang pengayuh rakit itu. Kuberi saja judul yang agak melow, sesuai karakter. Tsahhh. Berat ya menuju hatimu, harus mengayuh dengan dayung, pelan-pelan, pasti. Di jalannya banyak rintangan, dan kadang kalau sial, ada buaya yang mengancam. Kita bisa celaka. Untungnya kita tahu di mana perahu kecil itu berlabuh. Apabila deg-degan pun ada prakiraan waktunya. 

Kalau anda masih lajang tentu berharap segera bertemu dengan pasangan jiwa kan ya? Analoginya seperti pengayuh rakit ini. Pelabuhan si rakit anggap saja takdir. Yang tahu hanya Tuhan, kitanya berusaha dan tawakal. Sungainya pun relatif, ada yang panjang, dan pendek. We never know kan? Yang bisa dilakukan? Menikmatinya sepanjang perjalanan. Kalau memang harus menghadapi buaya, lawanlah dengan tenang. Bisa jadi si buaya sekedar menyapa, sama sekali tak mengganggu. 

Di sepanjang perjalanan adem lho. Banyak pemandangan bagus. Kita pun bisa bernyanyi riang, lebur dengan situasinya. Memotret pemandangan menjadi aktivitas yang asyik. Anggap saja begitu dalam hidup. Selama menunggu, anda bisa mengemasnya dalam beberapa cerita. Atau melakukan aktivitas lain. Perjalanan menjadi tak terasa lama, banyak manfaat. Dan....sampailah kita di pelabuhan. Rasanya? Bahagia.


sepinya patah hati

Masih menyambung cerita Erti sebelumnya. Hati itu kan nyatu, kalau patah, artinya ada yang retak. Untuk bisa sembuh musti disambung lagi, caranya bermacam-macam. Idealnya menyenangkan apabila hati itu tak pernah patah, atau retak. Tentunya menjadi satu gambaran yang sempurna. Dan....kesempurnaan itu milik Tuhan. Haha.....tulisannya menjadi tak jelas. Biar sajalah. Selain ngaduk-aduk sale box di mall, menulis menjadi sarana pencucian jiwa yang bagus. Betul?

Anda butuh berapa lama untuk menyembuhkan patah hati? Variatif ya? Teman saya butuh berbulan-bulan. Yang lain perlu seminggu. Ada juga yang butuh hitungan jam. Semua logic. Tergantung tingkat kesadaran dan rasa sakitnya. Tak bisa ya dilukiskan bagaimana rasanya? Hanya bisa dirasakan saja, dan itu sama sekali tak enak. Sangat berlawanan saat kita jatuh cinta. Dunia milik berdua. Selalu tersenyum meskipun hanya membaca sms atau bbm-nya saja. Patah hati? Di depan mata tak ada orang mencubitpun serasa dipalu godam. Astaga. Begitu ya rasanya?

jalan yang panjang

"Kamu pernah kan merasakan patah hati? Ya seperti inilah kondisiku saat ini. Seolah otot-ototku tak berfungsi, lemas tanpa ampun. Bisa bangkit adalah kondisi yang sangat kuharapkan kali ini. Apakah bisa? Harus. Itu pilihan satu-satunya. Karena apa? Tak ada yang mampu menolongku kecuali tekadku sendiri. Beratnya luar biasa. Itu bukti, bahwa aku tak bisa mudah menjatuhkan pilihan. Bahwasannya pilihanku itu membuatku terluka, siapa yang dipersalahkan?" Kalimat dari Erti ini terus terngiang di benakku. Untuk skala 1-100 aku menyetujuinya 100. 

Siapa sih yang ingin putus cinta? Jawaban yang mudah sekali bisa ditebak. Tetapi ketika itu terjadi, ya sudahlah. Semuanya juga berhak menangis, membebaskan derita. Menuntutnya kembali itu percuma, sia-sia. Anda melihat foto di atas kan? Jalan di depan masih panjang, ini baru setapak kita lalui. Di depan sana ada tikungan, dan ada bunga yang jauh lebih indah. Pastinya lebih menantang. Toh jalan setapak ini kita pernah di sini, melaluinya bukan? Kalau harus dilewati, artinya kita banyak diberi kesempatan untuk menikmati jalan lain, hingga ke Roma.