Senin, 03 Desember 2012

slow from djogdjakarta


Becak, kebaya, batik, wayang kerajinan handmade, dan berbagai hasil karya dari Yogyakarta ini identik dengan cara pembuatannya yang halus, lama, telaten, dan memakan waktu berhari-hari. Pun biasanya dikerjakan oleh perempuan, yang stereotypenya lebih terkenal dengan sifatnya yang bernuansa kelembutan. Ahaiy! Kerajinan kebaya berpayet misalnya, hasilnya luar biasa. Pengerjaannya? Membutuhkan waktu lama, ketelatenan yang maha dahsyat, super duper njelimet. Mungkin hanya sedikit laki-laki yang mau mengerjakannya bukan? Baiklah.

Sekarang kita bicara tentang becak saja dulu ya? Sudah pernah naik becak di Jogja? Asik kan? Dulu waktu masih mahasiswi saya sering mengatakan bahwa tak afdol rasanya kalau di Jogja tak naik becak. Karena, menurut saya ya, naik becak di Jogja itu so jawa....kalemmmm begitu rasanya. Beda sekali lho dengan naik becak di Semarang, semua serba buru-buru, klakson sana-sini tak mau berhenti, berlomba-lomba mengeraskan bunyinya. Ampun! Di Jogja? Enjoy aja.....jalannya juga lebih enak, tak ada naik turun seperti di Semarang. Kemudian tukang becaknya akan menyapa dengan halus, baik itu berbahasa Indonesia maupun Jawa. Tarifnya? Juga lebih murah. 

Di sepanjang malioboro tukang becak sekarang sudah menjadi komersial. Banyak pesanan dari butik, toko oleh-oleh dan lainnya. Memang sih jadi terkesan memaksa pendatang untuk diarahkan ke salah satu tujuan demi tips. Toh kita punya kemampuan untuk menolak dengan halus pula. Apapun itu, anggap saja sebagai pernak-pernik kehidupan slow ala jogja. Naik becak alon-alon di sepanjang malioboro. Padat tapi tetap saja ngangeni. Ah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar