Senin, 08 Oktober 2012

mengapa mengubur perasaan?

Wah judulnya nggak jelas ya? Haha....mengubur perasaan itu seperti apa sih? Bebaslah di sini mengartikan, mangga saja maunya seperti apa, terserah sudut pandang anda. Yang jelas, maksud saya masih menyambung tulisan sebelumnya tentang kejujuran. Mengapa ada orang yang rela tidak jujur, memilih menyimpan rasa hatinya untuk dirinya sendiri. Pepatah klasik mengatakan, biarlah hanya saya dan Tuhan yang tahu. Ia tulus, tanpa mengharap balasan dari orang yang dicintainya. Orang lain mau berkata apa juga silahkan. Jleb!

Orang lugu juga masih banyak kok di dunia ini, Meski kadang dicemooh, hari gini masih lugu? Ke laut aja lo. Toh kenyataannnya masih ada. Amati saja di lingkungan kantor. Ada OB yang jujur, mengembalikan rupiah demi rupiah tanpa manipulasi uang titipan makan siang. Ia melakukan pekerjaan dengan hati. Persoalan ia mendapat tips atau tidak, itu bukan agenda utamanya. Biasanya orang seperti ini banyak disukai. Tapi yang saya tulis kali ini bukan persoalan itu. Ini masalah hati. So, back to the topic. Anda pernah menyimpan perasaan suka terhadap lawan jenis? Sampai seberapa lama? Apa akibatnya bagi anda? Ahaiy!

Saya pernah melakukannya, dengan salah satu kakak kelas waktu kuliah. Sampai sepuluh tahun. Kenapa? Karena saya tak punya banyak kesempatan mengenalnya lebih dekat. Waktu itu saya diam-diam menyimpan rasa suka padanya. Tapi saya diamkan saja, hanya kepada teman dekat saya bercerita. Hingga kemudian saya justru memacari laki-laki lain. Lalu sepuluh tahun kemudian saya bertemu dengannya di lift, ternyata kami satu gedung kantor beda perusahaan. Kemudian kami bertukar nomor telepon. Saya suka? Tentu saja, karena saja bertemu dengannya setelah sekian lama. Apalagi dulu saya menyukainya diam-diam. Lalu, apakah saya masih menyimpan perasaan itu? Ternyata tidak. Justru saya bersyukur, dulu tak pernah kesampaian menyampaikan jujur perasaan saya. Mungkin ini termasuk bukan cinta sejati ya? Sehingga saya begitu mudah melupakannya?

Lalu saya mengetahui melalui pengakuannya, bahwa sepuluh tahun lalu itu ia sudah menikah dan punya anak seumur pernikahannya. Artinya, dulu ketika toh pun saya menyatakan perasaan saya, percuma. Ia sekedar tahu perasaan saya, tapi kami tak bisa saling memiliki. Ah! Dan sekarang keadaannya berbalik, justru ia menyukai saya. Tentunya, saya akan senang hati menerimanya bukan? Mengingat dulu begitu terbayang wajahnya setiap malam. Tapi entahlah, perasaan saya begitu berbeda. Dan kali ini saya pun jujur, bahwa dulu pernah naksir, sekarang pupus. Lalu ia pun saya rekomendasikan untuk memacari teman saya.

Ini cerita yang berakhir bahagia. Tetapi bagaimana apabila mengubur perasaan itu justru berakibat sedih mendalam? Oh no. *bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar