Selasa, 03 Januari 2012

Djogdjakarta Slowly Asia

Beberapa kali kalimat ini santer diberitakan di berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Sebuah slogan yang unik, membuat orang bertanya, apa sih maksudnya? Saya bisa sedikit bercerita tentang hal ini karena saya sedikit banyak ikut terlibat di dalamnya. Adalah Ismail Sukribo, karikaturis di Mingguan Kompas yang mempunyai ide nyleneh ini. Kemudian oleh Kafi Kurnia, kurator dan CEO Roemah Pelantjong bersama teman-teman di Yogyakarta menyebarluaskan konsep tersebut. Tanggal 18 November 2011 kami melontarkan ide ini melalui workshop dengan para pelaku wisata di Yogyakarta. Tanggapannya beragam, mulai dari yang sangat tertarik menjadikan ide ini menjadi strategi branding, sampai peserta yang masih belum mengerti tentang konsep dasarnya.

Dari berbagai kesempatan berbincang dengan Kafi Kurnia, Ismail Sukribo dan beberapa teman yang lain mengenai Djogdjakarta Slowly Asia, intinya konsep ini lebih menggali pada potensi alamiah yang dimiliki Yogyakarta, yang selama ini begitu terkenal sebagai salah satu tujuan wisata di Indonesia. Begitu banyak budaya, produk, dan kebiasaan yang sudah turun-temurun ada di tanah Ngayogyahadiningrat memenuhi unsur Slow, pelan. Contoh mudahnya adalah seni membatik. Semua orang juga tahu, membatik memerlukan teknik kepelanan yang luar biasa, ketelitian, dan ketekunan. Kalau tidak terbiasa dengan pekerjaan ini, dalam masa sekarang, orang bisa gila, betah berlama-lama hanya mengerjakan batik. Tapi hasilnya? Tak salah, kalau batik akhirnya dinobatkan menjadi salah satu produk luar biasa dari Indonesia.

Di Jakarta, orang terbiasa ke mana-mana naik bajaj dan ojek, dengan kecepatan dan tingkat keselamatan seimbang. Sehingga ada ungkapan, keselamatan penumpang hanya supir bajaj dan Tuhan yang tahu, saking ngebutnya si tukang bajaj menembus kemacetan, mengambil jalur pintas dengan sembarangan, dan lainnya. Di Yogyakarta? Begitu santai orang bersepeda kumbang, menikmati perjalanan dengan andhong, becak.....wow....santai....rileks....pelan...so slow.

Angkringan. Trend ini menjamur di Yogyakarta. Orang santai nongkrong di warung sederhana (angkringan), merokok, ngobrol ngalor-ngidul tak ketahuan jluntrungnya (ngobrol tak tentu arah), bisa sampai larut malam hingga dini hari. Teman saya mengatakan bahwa di Yogyakarta seolah waktu sangat bersisa. Di kota lain orang mengeluhkan waktu begitu cepat, sampai sulit mengaturnya antara keluarga, relasi, dan sebagainya. Di Yogyakarta? Waktu tidak ada yang sia-sia, semua berjalan begitu pelan......bisa dinikmati....sampai turah-turah (lebih-lebih). Apapun bisa dilakukan dengan kenikmatan yang sangat dahsyat. (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar