Kamis, 04 Oktober 2012

Ada Bunda “Deus Ex Machina” - sebuah opini dari tayangan televisi

Judul Program: “Putri Bidadari” – Episode 17
Stasiun Penayang: RCTI
Hari Penayangan: Selasa, 18 September 2012
Waktu: Pukul 18.00-19.15 WIB
Durasi: 75 menit (25 menit iklan)
Materi Iklan: Magnum Gold, SGM, TRESemme, KPU DKI Jakarta (Pilgub DKI), Pop Mie, Mizone, Clear, Ale-ale, Coffeejoy, Mito.
Sutradara: Umam AP
Pemain: Masayu Anastasia, David Chalik, Nena Rosier
Penulis Skenario: Serena Luna
Produser: Mitzy Christina, Novi Christina
Produser Eksekutif: Leo Sutanto
Rumah Produksi: SinemArt

Salah satu hal yang paling sulit ditemukan dalam jam utama (prime time) kebanyakan kanal TV swasta Tanah Air adalah kesungguhan. Tenanan, jika dalam istilah bahasa Jawa. Segala sesuatu terang benderang dilakukan dalam spirit ketergesa-gesaan, sehingga siapapun tak bakalan mampu (dan sempat) mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Ini terlihat jelas dalam sinetron serial Putri Bidadari yang tayang di RCTI.

Episode ke-17 serial itu yang diputar Selasa 18 September 2012 tempo hari berkisah tentang kegelisahan si kecil Putri (Qheyla S. Valendro) akan kesehatan neneknya, Nek Ida (Nena Rosier). Nek Ida pernah pingsan sehingga dipanggilkan ambulans, namun menolak pergi dan lebih baik pulang ke rumah jalan kaki.

Putri ingin tahu apa yang terjadi pada Nek Ida, namun sang nenek merahasiakan riwayat penyakitnya. Ia kemudian dikasih tahu tetangganya, Tante Aini (Masayu Anastasia), untuk mencari keterangan di ruangan arsip rumah sakit tempat Nenek Ida menjalani tepari, eh… terapi. Ditemani kawan-kawannya, Putri pun menyelinap bak agen rahasia menuju ruang arsip guna mencari tahu apa sesungguhnya penyakit yang diidap sang nenek.

Setelah rahasianya terkuak, Nek Ida putus asa dan pergi meninggalkan Putri untuk mencari pengobatan. Putri panik ditinggal sendiri. Untung ia dibantu gurunya di Sekolah Putri Ingin Pintar, Bidadari Bundandari (Sandra Dewi). Berkat bantuan burung-burung dara ajaib, Nek Ida berhasil ditemukan dan mereka bertemu lagi dalam hujan.

Sebagaimana sinetron prime time lain yang kejar tayang, Putri Bidadari juga dibuat dengan segala hal yang serba sekenanya. Tak perlu lagi bicara soal kualitas penulisan, akting, hingga hal-hal berbau teknis seperti pencahayaan, angle kamera, atau bahasa gambar. Semua yang terlibat hanya dibebani satu target tunggal: yang penting jadi ASAP (as soon as possible). Kita sebagai pemirsa pun disuguhi sesuatu yang tidak dikerjakan dengan penuh kesungguhan.

Tengok saja dari logika cerita. Mengapa Nek Ida serepot itu merahasiakan penyakitnya? Anak-anak kecil di seluruh dunia tahu bahwa nenek, ibu, atau ayah mereka sakit keras. Tentu anak-anak itu akan sedih, tapi so what? Anak seumuran Putri belum bisa membedakan mengapa Lou Gehrig syndrome, misalnya, jauh lebih gawat daripada masuk angin! Sakit ya sakit. Harus dibawa ke dokter. Sudah. Itu saja yang anak-anak perlu tahu. Lalu mereka akan kembali main seperti biasa.

Lalu Nek Ida minggat pergi diam-diam dengan meninggalkan surat melankolis pada Putri untuk mencari pengobatan. Pengobatan ke mana? Rumah sakit di Tuvalu? Bukankah jauh lebih mudah untuk tetap saja meneruskan tepari, eh… terapi di rumah sakit yang sama dan siangnya, sorenya, atau malamnya sesudah terapi kembali pulang ke rumah dan kumpul lagi dengan Putri?

Dan adegan Putri dan kawan-kawan menyelinap di rumah sakit untuk mencari ruang arsip menunjukkan betapa sebagian dari kita selalu saja menganggap remeh apapun yang diberikan untuk anak-anak. Apakah jika anak-anak mengenakan seragam dokter dan jas laboratorium warna hijau, identitas mereka sebagai anak-anak akan dengan seketika tersamar? Atau apakah rumah sakit itu memang dipenuhi tenaga ahli medis dan pegawai yang masih kanak-kanak?

Lebih ganjil lagi karena Putri cs. ternyata tidak memasuki ruang arsip, melainkan locker room (tentu saja, penonton kanak-kanak belum bisa membedakan mana ruang arsip mana locker room). “Arsip rekam medis” Nek Ida ditemukan berada di locker yang berabjad “I” (karena nama sang nenek kan Ida, entah siapa nama lengkapnya!)—menjadi satu-satunya stofmap yang ada di situ, dan bukannya berjajar menyatu dengan puluhan arsip huruf “I” lain sebagaimana yang lazim kita jumpai saat mencari arsip.

Dan yang paling mengganggu adalah keberadaan tokoh Bundandari yang di sekolah mengajarkan sulap itu. Ketika dimintai tolong oleh Putri untuk mencarikan Nenek Ida, sang bunda cukup minta bantuan burung-burung merpati ajaib. Lalu burung-burung itu membantu menunjukkan jalan menuju Nek Ida. Dan ketika jalannya ditelusuri, voila…! Nek Ida sedang duduk sendirian di sebuah gubuk entah di mana.

Kita melihat, Bundandari ini akan menjadi solusi bagi semua permasalahan Putri dalam episode-episode berikutnya. Tentu bukan dengan pemecahan masalah seperti yang kita ajarkan pada anak-anak dalam kehidupan sehari-hari, melainkan dengan teknik problem-solving yang seajaib mengubah kelinci menjadi burung serta bercakap-cakap dengan burung merpati.

Lalu kita sadar, karya seni modern dan masih menggunakan karakter deus ex machina? Tidakkah kita tertinggal sekitar 3.000 tahun saat tokoh-tokoh semacam ini masih sering menghuni naskah-naskah pentas tragikomedi era Yunani Kuno!?

Sebagai sebuah sinetron untuk anak, Putri Bidadari tidak menawarkan apapun yang cukup berharga untuk diserap oleh anak-anak. Dari logika cerita yang berupa “logika buatan sendiri” saja, kita sudah tahu bahwa seharusnya anak-anak tak memasukkan serial ini dalam daftar tontonan petang mereka sebelum belajar. Membiarkan mereka menyaksikan tontonan-tontonan yang tidak logis semacam ini akan menempa mereka menjadi pribadi yang berpeluang besar untuk tidak logis juga pada masa remaja dan dewasa nanti.

Ini diperparah dengan keberadaan Putri yang tidak mengajarkan soal kemandirian. Apapun yang terjadi, ia akan selalu dibantu secara ajaib oleh “Bunda Deus Ex Machina” yang mengisi nyaris seluruh frame time-nya dengan close up tengah tersenyum haru seperti ABG kencur bertemu dengan artis-artis SM Town itu!

Jangan salahkan jika para pemirsa Putri Bidadari terdidik untuk menjadi pribadi yang gemar bergantung pada orang lain. “Ah, gakpapa, ntar kan ada yang mBantu”. Bandingkan dengan para pemirsa cilik film Disney seperti Homeward Bound: The Incredible Journey (1993), misalnya, yang menonton penuh minat pada Chance, Sassy, dan Shadow yang hanya untuk sebuah tujuan sederhana—yaitu mencari majikan mereka—harus berjuang sendiri (on their own) bertualang menempuh jarak ratusan kilometer. Tak ada penolong, tak ada deus ex machina whatsoever. Nasib mereka bergantung sepenuhnya pada perjuangan mereka sendiri.

Pelajaran terpenting tentu saja, jangan biasakan mereka menikmati sesuatu yang dibuat tidak dengan sungguh-sungguh. Kita tak mau mereka kelak juga menjadi orang yang tak pernah sungguh-sungguh dan hanya sekadar meraih hasil lewat berbagai jalan pintas. (Wiwien Wintarto)

diunduh dari http://blogliterasi.wordpress.com/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar