Judul Program: “Putri Bidadari” – Episode 17
Stasiun Penayang: RCTI
Hari Penayangan: Selasa, 18 September 2012
Waktu: Pukul 18.00-19.15 WIB
Durasi: 75 menit (25 menit iklan)
Materi Iklan: Magnum Gold, SGM, TRESemme, KPU DKI Jakarta (Pilgub DKI), Pop Mie, Mizone, Clear, Ale-ale, Coffeejoy, Mito.
Sutradara: Umam AP
Pemain: Masayu Anastasia, David Chalik, Nena Rosier
Penulis Skenario: Serena Luna
Produser: Mitzy Christina, Novi Christina
Produser Eksekutif: Leo Sutanto
Rumah Produksi: SinemArt
Salah satu hal yang paling sulit ditemukan dalam jam utama (prime
time) kebanyakan kanal TV swasta Tanah Air adalah kesungguhan. Tenanan,
jika dalam istilah bahasa Jawa. Segala sesuatu terang benderang
dilakukan dalam spirit ketergesa-gesaan, sehingga siapapun tak bakalan
mampu (dan sempat) mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Ini terlihat jelas
dalam sinetron serial Putri Bidadari yang tayang di RCTI.
Episode ke-17 serial itu yang diputar Selasa 18 September 2012 tempo
hari berkisah tentang kegelisahan si kecil Putri (Qheyla S. Valendro)
akan kesehatan neneknya, Nek Ida (Nena Rosier). Nek Ida pernah pingsan
sehingga dipanggilkan ambulans, namun menolak pergi dan lebih baik
pulang ke rumah jalan kaki.
Putri ingin tahu apa yang terjadi pada Nek Ida, namun sang nenek
merahasiakan riwayat penyakitnya. Ia kemudian dikasih tahu tetangganya,
Tante Aini (Masayu Anastasia), untuk mencari keterangan di ruangan arsip
rumah sakit tempat Nenek Ida menjalani tepari, eh… terapi. Ditemani
kawan-kawannya, Putri pun menyelinap bak agen rahasia menuju ruang arsip
guna mencari tahu apa sesungguhnya penyakit yang diidap sang nenek.
Setelah rahasianya terkuak, Nek Ida putus asa dan pergi meninggalkan
Putri untuk mencari pengobatan. Putri panik ditinggal sendiri. Untung ia
dibantu gurunya di Sekolah Putri Ingin Pintar, Bidadari Bundandari
(Sandra Dewi). Berkat bantuan burung-burung dara ajaib, Nek Ida berhasil
ditemukan dan mereka bertemu lagi dalam hujan.
Sebagaimana sinetron prime time lain yang kejar tayang, Putri
Bidadari juga dibuat dengan segala hal yang serba sekenanya. Tak perlu
lagi bicara soal kualitas penulisan, akting, hingga hal-hal berbau
teknis seperti pencahayaan, angle kamera, atau bahasa gambar. Semua yang
terlibat hanya dibebani satu target tunggal: yang penting jadi ASAP (as
soon as possible). Kita sebagai pemirsa pun disuguhi sesuatu yang tidak
dikerjakan dengan penuh kesungguhan.
Tengok saja dari logika cerita. Mengapa Nek Ida serepot itu
merahasiakan penyakitnya? Anak-anak kecil di seluruh dunia tahu bahwa
nenek, ibu, atau ayah mereka sakit keras. Tentu anak-anak itu akan
sedih, tapi so what? Anak seumuran Putri belum bisa membedakan mengapa
Lou Gehrig syndrome, misalnya, jauh lebih gawat daripada masuk angin!
Sakit ya sakit. Harus dibawa ke dokter. Sudah. Itu saja yang anak-anak
perlu tahu. Lalu mereka akan kembali main seperti biasa.
Lalu Nek Ida minggat pergi diam-diam dengan meninggalkan surat
melankolis pada Putri untuk mencari pengobatan. Pengobatan ke mana?
Rumah sakit di Tuvalu? Bukankah jauh lebih mudah untuk tetap saja
meneruskan tepari, eh… terapi di rumah sakit yang sama dan siangnya,
sorenya, atau malamnya sesudah terapi kembali pulang ke rumah dan kumpul
lagi dengan Putri?
Dan adegan Putri dan kawan-kawan menyelinap di rumah sakit untuk
mencari ruang arsip menunjukkan betapa sebagian dari kita selalu saja
menganggap remeh apapun yang diberikan untuk anak-anak. Apakah jika
anak-anak mengenakan seragam dokter dan jas laboratorium warna hijau,
identitas mereka sebagai anak-anak akan dengan seketika tersamar? Atau
apakah rumah sakit itu memang dipenuhi tenaga ahli medis dan pegawai
yang masih kanak-kanak?
Lebih ganjil lagi karena Putri cs. ternyata tidak memasuki ruang
arsip, melainkan locker room (tentu saja, penonton kanak-kanak belum
bisa membedakan mana ruang arsip mana locker room). “Arsip rekam medis”
Nek Ida ditemukan berada di locker yang berabjad “I” (karena nama sang
nenek kan Ida, entah siapa nama lengkapnya!)—menjadi satu-satunya
stofmap yang ada di situ, dan bukannya berjajar menyatu dengan puluhan
arsip huruf “I” lain sebagaimana yang lazim kita jumpai saat mencari
arsip.
Dan yang paling mengganggu adalah keberadaan tokoh Bundandari yang di
sekolah mengajarkan sulap itu. Ketika dimintai tolong oleh Putri untuk
mencarikan Nenek Ida, sang bunda cukup minta bantuan burung-burung
merpati ajaib. Lalu burung-burung itu membantu menunjukkan jalan menuju
Nek Ida. Dan ketika jalannya ditelusuri, voila…! Nek Ida sedang duduk
sendirian di sebuah gubuk entah di mana.
Kita melihat, Bundandari ini akan menjadi solusi bagi semua
permasalahan Putri dalam episode-episode berikutnya. Tentu bukan dengan
pemecahan masalah seperti yang kita ajarkan pada anak-anak dalam
kehidupan sehari-hari, melainkan dengan teknik problem-solving yang
seajaib mengubah kelinci menjadi burung serta bercakap-cakap dengan
burung merpati.
Lalu kita sadar, karya seni modern dan masih menggunakan karakter
deus ex machina? Tidakkah kita tertinggal sekitar 3.000 tahun saat
tokoh-tokoh semacam ini masih sering menghuni naskah-naskah pentas
tragikomedi era Yunani Kuno!?
Sebagai sebuah sinetron untuk anak, Putri Bidadari tidak menawarkan
apapun yang cukup berharga untuk diserap oleh anak-anak. Dari logika
cerita yang berupa “logika buatan sendiri” saja, kita sudah tahu bahwa
seharusnya anak-anak tak memasukkan serial ini dalam daftar tontonan
petang mereka sebelum belajar. Membiarkan mereka menyaksikan
tontonan-tontonan yang tidak logis semacam ini akan menempa mereka
menjadi pribadi yang berpeluang besar untuk tidak logis juga pada masa
remaja dan dewasa nanti.
Ini diperparah dengan keberadaan Putri yang tidak mengajarkan soal
kemandirian. Apapun yang terjadi, ia akan selalu dibantu secara ajaib
oleh “Bunda Deus Ex Machina” yang mengisi nyaris seluruh frame time-nya
dengan close up tengah tersenyum haru seperti ABG kencur bertemu dengan
artis-artis SM Town itu!
Jangan salahkan jika para pemirsa Putri Bidadari terdidik untuk
menjadi pribadi yang gemar bergantung pada orang lain. “Ah, gakpapa,
ntar kan ada yang mBantu”. Bandingkan dengan para pemirsa cilik film
Disney seperti Homeward Bound: The Incredible Journey (1993), misalnya,
yang menonton penuh minat pada Chance, Sassy, dan Shadow yang hanya
untuk sebuah tujuan sederhana—yaitu mencari majikan mereka—harus
berjuang sendiri (on their own) bertualang menempuh jarak ratusan
kilometer. Tak ada penolong, tak ada deus ex machina whatsoever. Nasib
mereka bergantung sepenuhnya pada perjuangan mereka sendiri.
Pelajaran terpenting tentu saja, jangan biasakan mereka menikmati
sesuatu yang dibuat tidak dengan sungguh-sungguh. Kita tak mau mereka
kelak juga menjadi orang yang tak pernah sungguh-sungguh dan hanya
sekadar meraih hasil lewat berbagai jalan pintas. (Wiwien Wintarto)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar