Senin, 29 Oktober 2012

Sosialisasi KDRT Koran dan Televisi Jadi Media Efektif

Artikel ini telah dimuat di Suara Merdeka, 20 Agustus 2008

PERKEMBANGAN teknologi informasi makin tak terbendung. Saat ini boleh dikatakan banyak orang familiar dengan internet atau setidaknya pernah mendengar namanya. Jargon masyarakat melek media juga tampaknya makin berkembang dan terealisasi hingga ke pelosok tanah air. Akhirnya banyak kalangan membidik media menjadi sasaran tembak melakukan sosialisasi.

Pegiat masalah perempuan atau aktivis LSM pun cukup terbantu dengan adanya media, baik cetak maupun elektronik. Kemajuan terlihat sejak masyarakat awam belum mengenal adanya istilah kekerasan dalam rumah tangga hingga dewasa ini banyak kalangan ramai-ramai berdebat masalah gender, poligami, perlindungan anak, dan lainnya.

Perjuangan para aktivis perempuan sungguh luar biasa tak kenal lelah mengkampanyekan slogan-slogan Stop kekerasan terhadap Perempuan, Stop Pelecehan Seksual, kuota 30% untuk perempuan dan lainnya.

Gencarnya para aktivis LSM melobi dan bekerjasama dengan berbagai elemen untuk menyuarakan kesetaraan gender tak luput dari peran serta media. Bisa dibayangkan seandainya media tidak mendukung hal itu. Meskipun harus diakui masih sedikit media (cetak maupun elektronik) yang betul-betul memberikan porsi lumayan kepada masalah perempuan. Setidaknya upaya para aktivis dan pendukungnya setelah melakukan workshop atau pelatihan-pelatihan jurnalistik berbasis gender sudah membuahkan hasil.

Efektif

Hal menarik dari hasil riset yang dilakukan Lembaga Studi Pers dan Informasi (LeSPI) pada kurun Februari-Juni 2008 memperlihatkan bahwa informan (responden) justru mengetahui isu-isu perempuan seperti masalah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan hak-hak perlindungan anak dari media.

Hal itu apabila dibadingkan dengan komponen lain seperti lembaga sosial, pemerintahan, infrastruktur pemerintahan dan LSM. Sebanyak 140 informan dari 6 kota wilayah survey (Purwokerto, Solo, Temanggung, Semarang, Pati, dan Pekalongan). Di antaranya mengatakan tahu istilah KDRT setelah melihat infotainmen di televisi, membaca koran, atau mendengarkan radio.

Untuk lebih jelasnya lihat tabel di bawah:
Dari tabel tersebut terlihat bahwa sebanyak 35, 7 % (terbanyak) informan memeroleh informasi tentang UU KDRT dan sebanyak 32,9 % mengetahui UU Perlindungan Anak dari televisi. Beberapa informan mengatakan mereka mengetahui istilah perlindungan anak justru ketika melihat tayangan infotainmen yang memperlihatkan tayangan wawancara Kak Seto dari Komnas Perlindungan Anak. Saat itu menjadi mediator perwalian anak antara Tamara Blezynsky dan Rafli.

Memang mereka tak memahami begitu dalam pengertian perlindungan anak, tetapi setidaknya masyarakat marginal ternyata mampu mengakses informasi tersebut dan cukup mengerti bahwa kekerasan tak sepatutnya terjadi di dalam rumah tangga. Pun informasi tentang perceraian artis akibat kekerasan yang dilakukan oleh suami lebih mudah diterima oleh masyarakat pinggiran.

Televisi memiliki keunggulan karena menampilkan seluruh media informasi baik visual maupun audio. Di samping itu bisa dikatakan mayoritas masyarakat sudah mempunyai televisi di rumah sehingga memudahkan penerimaan akses informasi bagi mereka.
Dari tabel juga terlihat sebanyak 10% informan mengenal UU KDRT maupun perlindungan anak melalui koran. Kemungkinan hal ini terjadi adalah karena rendahnya minat baca di kalangan masyarakat. Hal menarik adalah ketika salah satu informan yang berprofesi sebagi pengecer koran (loper) mengatakan sangat terbantu dengan berita UU KDRT di media.

Ia menggunting potongan informasi UU KDRT dari koran lalu menempelnya di dinding rumah. Hal itu merupakan upaya untuk menyadarkan suaminya yang sebelumnya sering melakukan tindak kekerasan terhadapnya. Secara sengaja dia menunjukkan kepada suaminya tentang hukuman yang mengatur apabila pelaku terbukti melakukan KDRT.

Berkat potongan koran itulah menurutnya tidak ada lagi kekerasan yang dilakukan sang suami. Ia juga sadar untuk selalu memberikan ASI eksklusif hingga bayinya berusia 6 bulan karena membaca koran. Radio dan teman atau kenalan merupakan sumber informasi selanjutnya bagi informan.

Jelas akhirnya bahwa media ternyata sangat efektif menjangkau kelas masyarakat pinggiran. Ini menjadi catatan penting untuk efektivitas sosialisasi masalah perempuan di kemudian hari. Menjadi tugas para pegiat media dan aktivis LSM perempuan untuk mengemas isu dengan mengedepankan hiburan, menjual, dan tepat sasaran. Dengan demikian masyarakat pinggiran mampu mencerna maksud sosialisasi dan mengena sesuai tujuan. Tidak mudah memang, tetapi bukan tidak mungkin bisa dilakukan.

Publik Figur

Tidak hanya dalam pilkada dan menjelang pemilu 2009 saja para artis ramai-ramai mencalonkan dan dicalonkan oleh partai. Modal ketenaran nama juga cukup menambah nilai plus dalam sosialisasi masalah perempuan. Hal menarik dari survey yang dilakukan LeSPI adalah ketika informan yang terdiri atas kaum pinggiran mengetahui istilah kekerasan dalam rumah tangga dari infotainmen seperti penjelasan sebelumnya.

Mereka lebih mudah menerima informasi ketika kebetulan menonton berita perkawinan Maia dan Ahmad Dani berantakan dan disinyalir telah terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Demikian pula ketika artis Five Vi memperebutkan hak perwalian anak dari suaminya pun ada masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Masih jelas terngiang ketika beribu umat Islam perempuan kecewa dan ramai-ramai memperdebatkan masalah poligami dan hak-hak perempuan, ketika sang public figure Aa Gym terang-terangan mengaku menikah lagi. Luar biasa kekuatan media dalam menyuarakan persoalan.

Maka pada akhirnya ikon publik figure menjadi hal penting selanjutnya agar lembaga tertentu efektif menyampaikan informasinya, termasuk masalah jender. Keberhasilan pementasan vagina monolog yang berisi suara perempuan dengan melibatkan media juga menjadi hal yang patut diperhitungkan untuk sosialisasi masalah perempuan.

Apalagi di dalamnya melibatkan banyak artis papan atas Indonesia seperti Ayu Azhari, Rieke Dyah Pitaloka, Happy Salma, Ria Irawan, hingga Kristine Hakim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar